MAKALAH ULUM AL-HADITS
PENGERTIAN SEPUTAR HADITS DAN VARIAN MAKNANYA
Dosen
Pengampu : H. Abdul Sattar
Disusun
oleh :
Fitria Nur Lailatul Qodriyah (1901026077)
Poppy Marcelina Prismadani (1901026078)
Syauqi Muhammad Alaudin Rafi (1901026089)
PROGRAM
STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN
2020
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hadis Nabi
telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan yang tidak
dapat diragukan lagi. Hadis Nabi merupakan sumber ajaran Islam, di samping
Al-qur’an. “Hadis atau disebut juga dengan Sunnah, adalah segala sesuatu yang
bersumber atau didasarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perketaan, perbuatan,
atau taqrir-nya. Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-qur’an, sejarah
perjalanan hadis tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Akan tetepi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri tertentu yang spesifik,
sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus”.
Pada zaman
Nabi, hadis diterima dengan mengandalkan hafalan para sahabat Nabi, dan hanya
sebagian hadis yang ditulis oleh para sahabat Nabi. Hal ini disebabkan, “Nabi
pernah melarang para sahabat untuk menulis hadis beliau. tetapi Nabi juga
pernah menyuruh para sahabat untuk menulis hadis beliau.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar?
2.
Bagaimana
Pendapat dari para Ulama Hadis dan Fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis
Secara etimologi hadis adalah isim mufrad (kata benda tunggal)
akar katanya berasal dari huruf hijaiyah ( ح-د-ث ).
Menurut perhitungan M.M. Azzami, ada
sekitar 23 kali kata Hadis disebutkan dalam al-Quran yang tersebar di beberapa.
Dalam pelajaran terhadap makna ini, ditemukan beberapa pengertian, antara lain:
1.
Komunikasi
religius, Risalah atau al-Quran. Makna ini dapat dilacak dalam ayat berikut ini:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu al-Quran)
sebagai kitab suci.”(Q.S. Az-Zumar:23)
2.
Cerita atau
peristiwa alam pada umumnya seperti dalam ayat:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami,
maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.”(Q.S.
Al-An’am:68)
3.
Kisah
sejarah, seperti dalam ayat:
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?” (Q.S.
Thaha:9)
4.
Rahasia atau
percakapan yang masih hangat seperti dalam ayat:
وَإِذْ أَسَرَّ
النَّبِيُّ إِلَىٰ بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah
seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa.” (Q.S. At-Tahrim:3)
Secara terminologi hadis sering diartikan sebagai ‘segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik perkataan
perbuatan (qoul), ketetapan (fi’li) dan hal ikhwal (sifat dan keadaan) Nabi.[1] Hadis
dikenal juga dengan sinonim atau istilah lain, yaitu sunnah,
khabar, atsar.
a)
Sunnah
Sunnah menurut bahasa Banjar artinya diantaranya suatu perjalanan
yang diikuti baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk sunnah baik
seperti yang dicontohkan Nabi harus diikuti tetapi sunnah orang-orang yang tidak
bertanggung jawab harus dijauhi. Makna sunnah yang lain yaitu tradisi yang
kontinu misalnya firman Allah dalam surat al-fath ayat 23 :
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ
لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya : Sebagai suatu sunnatullah
yang telah berlaku sejak dahul, kamu sekali-kali tiada akan menemukan
perubahan bagi sunnatullah itu.
b)
Khabar
Dari segi istilah muhaddisin khabar identik dengan
Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan dan sifat. Diantara ulama memberikan definisi sebagai berikut : Sesuatu yang datang dari Nabi dan dari yang lain seperti
para sahabat tabiin dan pengikut tabiin atau orang-orang setelahnya. Mayoritas ulama melihat hadis lebih khusus yang datang
dari Nabi sedangkan khobar sesuatu yang datang dirinya dan dari yang lain
termasuk berita-berita umat terdahulu. Dengan demikian khabar lebih umum daripada hadis dan dapat dikatakan bahwa setiap hadis
adalah sumber dan tidak sebaliknya khobar belum tentu hadis.
c)
Atsar
Dari segi bahasa aksara diartikan (peninggalan atau bekas
sesuatu) maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena habis itu peninggalan
beliau atau diartikan (yang dipindahkan dari Nabi) seperti
kalimat الدُعاَءُالمأْثُورُ
dari kata Atsar artinya doa yang di Sumber kan dari Nabi menurut
istilah ada dua pendapat pertama Atsar sinonim hadits kedua Atsar adalah
sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin baik perkataan maupun
perbuatan.
Dapat dikatakan bahwa hadis merupakan sumber berita yang datang
dari Nabi dalam segala bentuk baik berupa perkataan perbuatan maupun sikap
persetujuan.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bentuk tampilan hadis bisa
berupa perkatan, perbuatan, ketetapan, sifat dan keadaan serta keinginan Nabi. Berikut akan dijelaskan lebih detail mengenai makna yang dimaksud
berserta contohnya masing-masing agar lebih mudah dipahami.
a) Qauli
Secara bahasa asal kata Qauli adalah bentuk
masdar dari kata qala-yaqulu-qaulan yang berarti perkataan. Kemudian
kata itu mendapat tambahan ya’ nisbah yang menunjukkan jenis. Dengan
demikian, maka hadis dengan bentuk ini adalah hadis Nabi yang jenisnya
perkataan. Contoh:
إنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ (رواه البخارى ومسلم)
“Segala amalan itu mengikuti niat (orang yang
meniatkan)”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
b)
Fi’li
Secara bahasa, asal kata fi’li
adalah bentuk masdar dari kata fa'ala-yaf'ulu fa'lan wa fa ilan
yang berarti perkataan. Kemudian kata itu mendapat tambahan ya’nisbah
yang menunjukkan jenis. Artinya, hadits bentuk perbuatan adalah Hadits yang
isinya menunjukkan bahwa Nabi saw. mengerjakan sesuatu. Jadi, kata kunci dari
bentuk hadits ini terletak pada kata “mengerjakan”. Contoh:
صَلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمُوْنِيْ اُصَلِّيْ (رواه البخارى ومسلم عن مالك)
“Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku bershalat”.
(HR. Al-Bukhary dan Muslim dari Malik ibn Huwairits)
c) Taqriri
Kata taqrir adalah bentuk masdar dari qarrara-yuqarriru-taqriron
yang secara sederhana berarti ketepatan. Hadis dalam bentuk ini menunjukkan
ketepatan yang diberikan Nabi terhadap apa yang dilakukan sahabatnya. Artinya,
ada perilaku baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan yang dilakukan
sahabat di mana Nabi mendengar atau mengetahuinya dan Nabi tidak menegur apa
yang dilakukan sahabat tersebut. Dengan kata lain Nabi mendiamkan hal itu
terjadi. Diamnya Nabi inilah yang kemudian dianggap sebagai persetujuan Nabi
terhadap peristiwa itu. Contoh:
Diriwatkan oleh Al-Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Khalid bin Walid
memakan dhab (sejenis biawak) yang kemudian dihidangkan kepada Nabi saw, akan
tetapi Nabi enggan untuk memakannya. Lalu sebagian sahabat (Khalid) bertanya:
“Apakah kita diharamkan makan dhab, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab :
لاَ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ فِى اَرْضِ قَوْمِي، كُلُوْا فَإِنَّهُ حَلَال
“Tidak, hanya saja binatang ini tidak ada di negeriku (oleh karena itu
aku tidak suka memakannya). Makanlah, sesungguhnya dia (dhab) halal”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim)
d) Ahwali
Hadits ahwali adalah Hadits yang berupa hal ikhwal Nabi SAW, yang tidak
termasuk ke dalam kategori hadis yang lain. Hadis yang termasuk kategori ini
adalah hadis hadis yang menyangkut sifat-sifat dan kepribadian serta Keadaan
fisik Nabi SAW. Contoh:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ
وَجْهًا وَأَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ بِالطَّوِيْلِ الْبَائِنِ وَلاَ
بِالْقَصِيْرِ. {رواه البخاري}
Rasulullah Saw, adalah
manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tabuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan
tidak pendek. (H.R. Al-Bukhari).
e) Hammi
Adapun yang dimaksud
dengan hadis hammi adalah hadis yang berupa keinginan Nabi yang secara praktis
belum sempat dilakukan Nabi. misalnya keinginan Nabi untuk berpuasa pada
tanggal 9 ‘Asyura. Dalam riwayat Ibnu Abbas dijelaskan bahwa:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ أَنَّ إِسْمَعِيلَ بْنَ أُمَيَّةَ الْقُرَشِيَّ
حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا غَطَفَانَ يَقُولُ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عَبَّاسٍ يَقُولُ حِينَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ
التَّاسِعِ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Yahya bin Ayyub, bahwa Isma'il bin
Umayyah Al Qurasyi telah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu
Ghatafan berkata; saya mendengar Abdullah bin Abbas ketika Nabi shallallahu
'alaihi wasallam berpuasa pada hari 'Asyura ia berkata; dan beliau
memerintahkan kami agar berpuasa pada hari tersebut. Para sahabat kertanya;
wahai Rasulullah, itu adalah hari dimana orang-orang yahudi dan nashrani
mengagungkannya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Apabila tahun depan maka kita akan berpuasa pada hari kesembilan."
Kemudian belum datang tahun depan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah
meninggal dunia.
B.
Sunnah
Sunnah menurut istilah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut :
a)
Menurut ulama
hadis ahli hadis (muhadditsin), sunnah sinonim hadis sama dengan
definisi hadits di atas. Di antara ulama
ada yang mendefinisikan dengan ungkapan yang singkat:
Segala perkataan Nabi SAW, perbuatannya, dan segala
tingkah lakunya.[2]
b)
Menurut ulama
ushul fiqh (ushuliyun):
Segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang bukan Alquran, baik berupa segala perkataan,
perbuatan, dan patut dijadikan dalil hukum syara’.[3]
Sunnah menurut
ulama Ushul fiqih hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar hukum Islam. Jika
suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum seperti makan, minum, tidur,
berjalan, meludah, menelan ludah, buang air, dan lain-lain maka pekerjaan biasa
sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
c)
Menurut ulama
fiqh (fuqaha):
Sesuatu
ketetapan yang datang dari Rasulullah SAW dan tidak termasuk kategori fardhu
dan wajib, maka ia menurut mereka adalah sifat jarak yang menuntut pekerjaan,
tetapi tidak wajib dan tidak disiksa bagi yang meninggalkan nya.
Menurut ulama
Fiqh, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi, tetapi
hukumnya tidak wajib; diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa
bagi yang meninggalkan. Contohnya seperti salat sunah, puasa sunnah, dan
lain-lain.
d)
Menurut
ulama maw’izah (‘Ulama Al-Wa’zhi wa Al-irsyad)
Sesuatu yang menjadi lawan dari bid’ah.[4]
Sebagaimana dalam hadis Nabi:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap
mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah
seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup
sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi
kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka
itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan
gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena
setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
kesesatan” (HR. At Tirmidzi)
C.
Khabar
Menurut bahasa khabar diartikan an-naba'
(berita). Dari segi istilah, khabar identik dengan Hadis, yaitu segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi ( baik secara marfu', mauquf, dan maqthu’),
baik berupa perkataan perbuatan, persetujuan, dan sifat.[5]
Diantara ulama memberikan definisi sebagai berikut.
Khabar menurut
bahasa adalah berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Ulama
lain mengatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang datang selain dari Nabi
Saw, sedangkan yang datang dari Nabi Saw disebut dengan hadis. Dengan pendapat
ini, orang yang meriwayatkan hadis disebut muhaddits. Sebagian ulama lainnya
mengatakan bahwa hadis lebih umum daripada khabar sehiangga setiap hadis
dapat dikatakan khabar, tetapi tidak setiap khabar dapat
dikatakan hadis.[6]
Menurut fuqaha khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Saw.
Contoh:
Contoh:
من عمل عملا
ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barang siapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintahnya dari
kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
D.
Atsar
Dari segi bahasa, atsar diartikan البقية او بقية الشيء (peninggalan atau bekas
sesuatu), maksudnya peninggalan atau bekas Nabi karena habis itu peninggalan
beliau. Atau diartikanالمنقول (yang dipindahkan dari Nabi),
seperti kalimat: dari kata atsar, artinya doa yang disemburkan dari Nabi.
Menurut istilah ada dua pendapat; pertama,
Atsar sinonim hadis; kedua, akar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para
sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’), baik perkataan maupun
perbuatan. Sebagian ulama mendefinisikan:
Sesuatu yang datang dari selain Nabi SAW. dan dari para sahabat, tabi’in dan atau orang-orang
setelahnya.
Sesuatu yang disandarkan pada sahabat
disebut berita mawquf dan sesuatu yang datang dari tabi’in
disebut berita maqthu’. Menurut ahli hadits atsar adalah sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi SAW.(marfu’) para sahabat (mawquf)
dan ulama Salaf. Sementara fuqaha Khurrasan membedakannya; atsar
adalah berita mawquf sedangkan khabar adalah berita marfu’.
Dengan demikian, atsar lebih umum daripada khabar, karena atsar
ada kalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain sedangkan khabar
adalah berita yang datang dari Nabi atau dari sahabat, sedangkan atsar
adalah yang datang dari Nabi sahabat, dan yang lain.[7]
KESIMPULAN
Hadis sering diartikan sebagai ‘segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi baik perkataan perbuatan (qoul),
ketetapan (fi’li) dan hal ikhwal (sifat dan keadaan) Nabi. Hadis dikenal juga dengan sinonim atau istilah sunnah, atsar, khabar.
Sunnah menurut istilah terjadi
perbedaan pendapat di kalangan para ulama, di antaranya sebagai berikut :
a)
Menurut ulama
hadis ahli hadis (muhadditsin), sunnah sinonim hadis sama dengan
definisi hadits di atas.
b)
Menurut ulama
ushul Sunnah menurut ulama Ushul fiqih hanya perbuatan yang dapat dijadikan
dasar hukum Islam
c)
Menurut ulama
fiqh (fuqaha):
Menurut ulama
Fiqh, sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang datang dari Nabi, tetapi
hukumnya tidak wajib; diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa
bagi yang meninggalkan.
d)
Menurut
ulama maw’izah (‘Ulama Al-Wa’zhi wa Al-irsyad)
Sesuatu yang menjadi lawan dari bid’ah.
Menurut bahasa khabar diartikan an-naba' (berita). Dari segi istilah,
khabar identik dengan Hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
( baik secara marfu', mauquf, dan maqthu’), baik berupa perkataan perbuatan,
persetujuan, dan sifat.
Menurut istilah ada dua pendapat; pertama, Atsar sinonim hadis; kedua,
akar adalah sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf) dan tabi’in
(maqthu’), baik perkataan maupun perbuatan.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, A. M. (2015). Ulumul Hadis.
Jakarta: Amzah.
M.Ag., D. I. (2015). Pengantar Ulumul
Hadits. Semarang: CV. Karya Abadi Jaya.
Prof. Dr. H. Idri, M. (2016). Studi Hadis.
Jakarta: PRENADA MEDIA GROUP.
Sattar, A. (2018). Ilmu hadis.
Semarang: PUSTAKA RIZKI PUTRA.
[1] Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith
Methodologi and Literature (Indanapolis: Islamic Teaching Centre, 1977)
hlm. 1-2.